Hari ini adalah hari yang istimewa untukku dan istriku, sebab hari ini adalah ulangtahun pernikahan kami yang ke dua puluh lima. Dan untuk...

Ketika Istriku Jatuh Cinta

By | Kamis, Juli 14, 2016 Leave a Comment
Hari ini adalah hari yang istimewa untukku dan istriku, sebab hari ini adalah ulangtahun pernikahan kami yang ke dua puluh lima. Dan untuk pertama kalinya dalam dua puluh lima tahun terakhir, kami merayakannya.
Istriku bukan orang yang romantis, tidak terlalu suka hal-hal berbau romantic dan ia tidak suka merayakan suatu peringatan.
Ia memang tidak membenci hal-hal romantis, tapi, bila aku mencoba romantis padanya, alih-alih ia akan tersipu malu dan meleleh, ia malah akan merasa geli dan terkekeh-kekeh.
Ia tidak pernah menyukai perayaan. Oleh karena itu kami tidak pernah merayakan ulangtahun pernikahan kami. Saking tidak menyukai perayaan, ia pun kerap melupakan ulangtahunku dan ulangtahunnya sendiri.
Meski demikian, aku tetap merasa terbekati dan berbahagia dalam dua puluh lima tahun terakhir. Sebab selama itu, meski ia tidak romantis dan sering melupakan ulangtahunku, ia selalu membuatku tersenyum dan tertawa.
Perayaan ulangtahun pernikahan kami hanya dirayakan olehku, istriku dan kedua anak kami: Si Sulung yang berusia dua puluh tahun dan adiknya yang usianya setengah dari kakaknya.
Jangan tanya mengapa tiba-tiba kami merayakan ulangtahun pernikahan kami. Sebenarnya, aku dan istriku tidak pernah ada rencanan merayakannya, semua ini adalah persekongkolan di antara Si Sulung dan adiknya.
IStriku tidak menyukai perayaan. Namun ia tetap berterimakasih kepada anak-anak kami tanpa pakai acara tersipu malu dan pipi yang berubah jadi kemerahan mirip kepiting rebus. Justru akulah yang sebenarnya merasa terharu dan gembira bukan kepalang.
Anak-anak kami memaksa kami buat saling mengucapkan sesuatu di hari ini.
“Harus yang romantis.” Begitu paksa Si Bungsu. Sepertinya ia telah bosan hidup sepuluh tahun tanpa pernah mendengar kalimat-kalimat gombal yang saling dilontarkan oleh kedua orangtuanya.
Panjang dan lebar aku berusaha mengucapkan sesuatu yang romantic yang disambut oleh kata: “Cieee.” oleh kedua anak kami. Dan istriku membalasnya dengan kalimat singkat dan tegas:
“Terimakasih sudah betah jadi suami saya selama dua puluh lima tahun.”
Sudah, cuma itu, tidak ada tambahan lainnya. Namun kalimat itu sukses membikin hari ini terasa kian istimewa—meski mendapat protes dari Si Sulung dan Si Bungsu sebab dianggap tidak romantis.
                                                       ***
Aku mengenalnya sejak SMA. Kami kawan satu kelas selama tiga tahun. Rekan satu organisasi. Teman ketawa-ketiwi. Setelah lulus SMA tanpa sengaja masuk ke universitas yang sama, beda fakultas, tidak lagi ikut organisasi yang sama, tapi kami tetap menjadi kawan karib.
Di mataku ia adalah gadis sederhana. Bukan cuma soal gaya hidup dan penampilan, tapi cara ia berpikir pun juga sederhana, apa adanya, sampai terkesan terlalu polos dan sering asal ceplos. Jika cinta maka ia akan bilang cinta. Jika benci maka ia akan bilang benci. Tidak perlu pakai acara basa-basi. Ia akan berkata jujur dari hati.
Ia tidak menyukai kepura-puraan dan drama dalam menjalani hidup, tidak seperti kebanyakan perempuan. Karena buatnya dua hal itu akan membuat hidup menjadi rumit. Ia tidak mau memiliki hidup yang rumit, ia ingin terus berbahagia.
Saking jujur dan apa adanya, konon beberapa lelaki yang pernah mencoba mendekatinya dan menyatakan cinta padanya menjadi sakit hati dan menyuruh tiap lelaki yang ingin mendekatinya buat berhati-hati.
“Saya nggak mau jadi pacar kamu. Saya nggak cinta sama kamu.”
Begitulah kalimat andalan yang ia ucapkan tiap ada lelaki yang menyatakan cinta padanya. Tanpa mau basa-basi dan berhati-hati. Tidak terlalu peduli jika nanti membikin para lelaki sakit hati.
Saat kuliah untuk pertamakalinya ia memiliki pacar. Seorang lelaki yang tidak jelek juga tidak tampan. Namun penampilannya cukup keren.
Setelah setahun pacaran, lelaki itu jatuh cinta lagi. Diam-diam memiliki pacar lain. Tak lama kemudian istriku—yang saat itu belum menikah denganku—mengetahuinya.
“Saya minta maaf. Saya nggak bermaksud mengkhianati kamu. Kami cuma teman dekat. Tidak lebih.” Begitu yang diucapkan oleh lelaki tersebut.
Saat itu aku dan beberapa teman karib kami menguping perbincangan mereka. Sebab kami sedang menganggur dan benar-benar butuh hiburan. Sebenarnya saat itu kami mengharapkan ada aksi teriak-teriakan dan tampar-tamparan persis dalam sinetron. Kami sudah siap-siap buat terbahak sambil saling meminjam ujung baju teman terdekat buat mengelap ingus dan air mata sandiwara.
“Kalau kamu cinta sama dia, jujur saja. Saya nggak akan marah.”
Lelaki itu diam. Menatap istriku dengan takut-takut.
Istriku balas menatap lelaki itu lekat-lekat. “Kamu cinta sama dia.”
“Tapi saya masih cinta sama kamu.”
“Oke, kalau begitu sekarang maunya gimana?”
“Saya…” Lelaki itu tidak lekas melanjutkan kalimatnya.
“Kamu inginnya pacaran sama saya dan dia, kan? Oke, saya nggak keberatan. Tapi gimana sama dia? Dia mau? Kalau dia mau, ayo jalani. Kalau dia nggak mau, ya kamu harus pilih salah satu.”
Kami terkaget-kaget. Begitu pula dengan lelaki itu. Kami tidak menyangka ia akan berkata seperti itu. Untuk pertama kalinya kami mendengar pernyataan seperti itu dari mulut seorang perempuan yang sedang dikhianati oleh kakasihnya. Bahkan, dari mulut seorang lelaki pun belum pernah kami dengar.
Lelaki itu keheranan. “Kamu nggak salah bicara, kan? Nggak lagi menguji saya, kan?”
“Nggak. Saya nggak salah bicara, kok. Lagian menguji buat apa? Menguji apakah kamu setia sama saya atau nggak? Kata kamu, kamu masih cinta sama saya, artinya kamu masih setia sama saya. Kalau kamu jatuh cinta lagi sama gadis lain, ya mau gimana lagi? Kapan dan kepada siapa kita jatuh cinta, kan, bukan kita yang menentukan. Jadi, ya, saya nggak pa-pa dan Cuma bisa kasih solusi  seperti itu.”
Beberapa minggu kemudian mereka putus. Alasan yang kudengar dari istriku, perempuan yang dicintai oleh lelaki itu tidak sudi berbagi cinta. Dan menurut istriku, cintanya buat lelaki itu tidak sebesar cinta perempuan tersebut. Maka selesai lah urusannya. Tidak ada air mata. Tidak pula ada penyesalan yang kulihat di wajahnya. Ia juga tidak lantas menjadi pemurung. Ia tetap suka mengumbar senyum dan menayapa tiap orang yang berpapasan dengannya meski tidak ia kenal.
Begitulah istriku. Tidak mau membuat hidupnya menjadi rumit.  Menerima apa yang ada dalam hidupnya. Bahkan hingga persoalan cinta yang seharunya bila dijalani oleh orang lain maka akan menjadi rumit dan super mengharukan macam telenovela atau film India.
                                                       ***
Manjadi kawan karibnya membuatku tidak pernah bohong dan malu buat mengatakan segala hal padanya. Begitu pula dengan dirinya. Kami amat terbuka. Saling berbagi aib mengenai apapun, mulai dari yang amat sepele sampai yang nyaris mencoreng nama baik dan harga diri.
Hingga akhirnya tiba hari di mana aku menyukai tiap hal darinya. Hari di saat aku selalu ingin mendengar suara dan tawanya. Saat aku selalu ikut tersenyum jika melihatnya tersenyun. Saat aku merasa berbahagia tiap kali menatap kedua bola matanya yang kurasai selalu memancarkan kehangatan dan ketenangan.
Aku menyadari bahwa aku mengaguminya. Aku tidak menampik hal itu. Dan aku tidak menyumbinyakan hal tersebut darinya.
“Sepertinya saya on the way jatuh cinta sama kamu.” Ucapku padanya setelah aku tidak bisa lagi menahan kekaguman dan rasa sukaku kepadanya.
“Kamu? Jatuh cinta sama saya?” Tanyanya sangsi.
Aku mengangguk. “Nggak tahu kenapa, sepertinya saya suka dan kagum sama kamu. Tapi belum tentu saya jatuh cinta sama kamu. Baru akan jatuh cinta. Dan tidak tahu bakal jatuh cinta tau nggak.”
Dia tersenyum simpul dan mengangguk. “Kalau begitu silakan mengagumi saya. Kalau akhirnya jatuh cinta, moga-moga tidak patah hati karena saya tidak cinta sama kamu. Tapi kalau sampai bertahun-tahun kamu tetap mencintai saya dan tiba-tiba suatu hari saya jadi balas mencintai kamu, maka selamat, Tuhan berarti sayang banget sama kamu.” Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Kemudian kami terkekeh bersama.
Begitulah caraku menyatakan perasaanku padanya. Tidak perlu malu-malu apalagi pakai acara pipi yang memerah. Tidak pula berbasa-basi dan berpuisi. Tegas dan lugas. Dikahiri dengan tawa keakraban sepasang sahabat.
                                                       ***
Ia tidak suka membuat segala sesuatu menjadi rumit. Bahkan persoalan cinta yang bila dijalani oleh orang lain akan menjadi serumit telenovla pun menjadi sederhana bila ia yang menjalani.
Setahun setelah kami lulus kuliah dan berpisah, kami membuat janji buat bertemu kembali untuk melepas rindu yang telah membuncah.
“Jadi, sekarang sedang pacaran atau nggak?” Tanyaku setelah saling sapa dan menanyakan kabar.
Ia mengangguk. “Seorang wanita yang tidak sengaja bertemu dengan saya saat nonton pertunjukan orkestra.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tidak ada rasa malu maupun takut yang tersirat di wajahnya. Malahan ia tersenyum cukup lebar
Really? Ternyata ada seorang wanita yang mau dengan wanita seperti kamu.” Aku tersenyum meledek, membalas candaannya.
“Saya serius.” Ia tersenyum simpul. Menatapku lekat.
Aku diam sejenak. Balas menatapnya lekat. Mencerna ucapannya. Kemudian mulutku lebih dulu terbuka sebelum kata-kata keluar.
“Kamu, sungguhan pacaran sama perempuan?”
Ia tersenyum lebar. “Saya sudah tahu ekspresimu akan seperti apa. Selamat terkaget-kaget. Dan kalau habis ini kamu malu punya teman seperti saya, silakan.”
“Bagaimana bisa?”
“Bagaimana? Lho, jatuh cinta itu, kan, ya tinggal jatuh cinta saja. Nggak gimana-gimana. Kalau memang kenyataannya saya jatuh cinta sama perempuan, ya sudah, memang seperti itu adanya. Gitu saja, kok, bertanya bagaimana bisa.”
Aku mengusap wajahku. “Lalu, saya harus bagaimana? Kamu suruh saya buat jaga rahasia atau bagaimana?”
Keningnya berkernyit. “Jadi, ini rahasia?”
Kini giliran keningku yang berkernyit.
Ia tersenyum lebar. “Jadi menurut kamu ini aib? Ya, kalau kamu menganggapnya demikian, maka menurut kamu bagaimana seharusnya seorang sahabat menanggapi aib sahabatnya? Tapi kalau buat kamu ini kabar baik, ya, menurut kamu bagaimana seorang sahabat menanggapi kabar baik dari sahabatnya? Sederhana,kan.” Ia mengedipkan sebelah matanya sambil mengangkat cangkir kopinya.
Aku terdiam dan mengusap wajah.
Ia selalu menghadapi segala masalah dengan tenang dan membuat semuanya menjadi sederhana, bahkan masalah yang amat rumit pun.
                                           ***
Lima tahun berlalu dan kami kembali bertemu. Sore hari di bibir pantai. Kami duduk bersebelahan menatap laut dengan beralaskan pasir.
“Kami putus.” Ucapnya tanpa menatapku.
Aku menatapnya. “Kami? Kamu dengan perempuan itu?”
Ia mengangguk dan tersenyum tipis.
“Kenapa?”
“Ia jatuh cinta lagi. “
“Dengan perempuan lain?”
“Dengan laki-laki.”
“Siapa yang memutuskan?”
Ia mengalihkan pandangannya padaku. “Menurut kamu?”
Ada yang berbeda dari wajahnya. Senyum itu amat samar. Kedua matanya sayu. Tidak kudapati kehangatan dan ketenangan di balik kedua bola matanya. Dan aku tahu bahwa ia benar-benar mencintai wanita itu.
“Dia.” Jawabku.
Ia tersenyum simpul. Kembali menatap lautan.
“Kamu melepaskannya begitu saja?”
“Ya. Dia minta berpisah. Masa saya paksa dia buat tetap tinggal?”
Aku terdiam, mencoba ikut merasai kesedihannya.
Ia menarik napas panjang kemudian melepaskannya. “Ternyata, melepaskan seseorang yang kita cintai cukup menyakitkan.” Ia menutup kedua matanya. Menangis. Tidak ada sepuluh detik kedua mata itu segera membuka.
“Tapi ini tidak akan lama. Kamu jangan khawatir. Saya akan tetap berbahagia.” Ucapnya kemudian sambil memaksakan senyumnya.
Sore itu aku menemaninya menangis hingga larut malam. Namun tidak ada isakan. Tidak pula tubuh yang bergetar. Cuma air matanya yang terus mengalir.
                                                       ***
Dua tahun kemudian tanpa sengaja kami dipertemukan di pantai yang berbeda. Kudapati dirinya dengan senyum lebar dan bola mata yang bercahaya.
“Apa kabar?” Tanyanya terlebih dahulu.
“Bosan terjebak di balik beton pencakar langit. Kabarmu sendiri bagaimana?” Tanyaku padanya.
“Masih belum jatuh cinta lagi karenasepertinya masih mencintai yang dulu. Tapi saya berbahagia. Kamu lihat sendiri keadaan saya, kan?”
“Kamu terlihat lebih gemuk.”
“Oh, jelas, dong. Saya, kan, selalu berbahagia.”
“Kebetulan kita ketemu. Ketua kelas terkahir kita bakal menikah bulan depan. Dia mau kirim undangan buat kamu, tapi susah menghubungimu. Dia titipkan ke saya. Tapi nggak saya bawa.”
“Lho, cowok ganteng seperti dia malah baru akan menikah? Saya pikir sudah dari dulu.”
“Ya, begitulah. Kalau dia sudah menikah, kurang kita berdua. Teman-teman satu kelas sudah sebar undangan semua.”
“Jadi, kamu kapan sebar undangan juga?”
“Tergantung kamu maunya kapan.”
Ia terkekeh.
“Dulu saya pernah bilang kalau saya suka sama kamu dan on the way jatuh cinta. Sebenarnya sudah lama saya akhirnya jatuh cinta sama kamu.”
Ia tersenyum geli dan menatapku.
“Barangkali ini adalah “suatu hari nanti” yang dulu kamu sebutkan. Jadi, kamu jatuh cinta balik nggak sama saya?”
Ia tersenyum simpul. “Saya nyaman dan senang kenal kamu. Tapi untuk saat ini saya belum jatuh cinta sama kamu. Lagi pula, saya masih cinta sama dia.”
Ia menatap lautan. “Sebenarnya saya kesepian. Enak sepertinya kalau punya pacar baru. Tapi saya belum jatuh cinta lagi.”
“Saya mau, kok.”
“Tapi saya nggak cinta sama kamu.”
“Nggak masalah. Yang penting kamu nggak kesepian.”  
“Memang kamu mau pacaran sama saya padahal saya nggak cinta kamu?”
“Menikah. Ayo kita menikah. Menikahlah dengan saya maka kamu akan jatuh cinta dengan saya.”
Ia terdiam. Wajahnya berubah menjadi serius. “Ini bukan hal yang sederhana.”
Aku tersenyum geli. “Jadi, kamu yang selalu menganggap segalanya serba sederhana, kini menganggap hal ini tidak lagi sederhna? Kok, bisa?”
“Kamu tidak mengerti. Saya masih cinta dengan dia. Dan saya tidak cinta sama kamu.”
“Kamu tidak jatuh cinta lagi tapi kamu kesepian. Saya siap menemani agar kamu tidak kesepian. Kalau akhirnya kamu jatuh cinta dengan saya, itu adalah pencapaian yang saya tuju. Kalau akhirnya kamu tidak jatuh cinta dengan saya, setidaknya kamu sudah tidak kesepian. Lagi pula saya juga kesepian. Anggap saja kita menikah karena sama-sama kesepian. Soal cinta belakangan, yang penting rasa sepi terobati dulu. Simple, kan?”
Kami saling tatap dan diam beberapa saat.
“Kamu akan tersakiti. Jangan salahkan saya bila akhirnya saya tidak jatuh cinta.”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Jadi, kita menikah?”
Ia tersenyum geli. “Kita nikmati hubungan ini dulu, jangan terburu-buru.”
                                                                        ****
Perayaan langtahun pernikahan yang ke dua puluh lima itu telah berlalu tiga bulan.
Hari ini aku dan istriku punya janji dengan seorang rekan kerjaku. Anak pertamanya akan menikah dan membutuhkan wedding organizer. Teman-teman kantor menyarankan untuk meminta bantuan istriku.
Aku dan istriku baru saja tiba di restaurant yang telah direncanakan. Kami telat lima menit. Segera aku celingukan begitu tiba di dalamnya. Tak lama kemudian kudapati seorang lelaki melambaikan tangan kepadaku.. Aku dan istriku segera menghampirinya.
“Maaf agak terlambat. O, ya, ini istri saya.” Ucapku.
Rekanku tersenyum. “Ya, tidak apa-apa. Selamat pagi.” Ia menjabat tangan istriku.
“Silakan duduk. Tunggu sebentar, ya. Istri saya sedang ke toilet. Sebentar lagi kembali. Ah, itu istri saya.”
Aku dan istriku yang baru saja duduk spontan megikuti arah pandang rekanku.
Seorang wanita berambut pendek berjalan mendekati kami. Aku dan istriku sudah memasang senyum dan bersiap berjabat tangan dengannya.
“Ma, ini, lho, teman Papa yang istrinya seorang wedding organizer.” Ucap rekanku setelah wanita itu bergabung dengan kami.
Aku tersenyum ramah kepadanya. Bersiap menjabat tangan. Namun wanita itu tidak tersenyum kepadaku. Ia terdiam. Menatap ke satu arah. Istriku.
Kutatap istriku. Ia tidak lagi tersenyum. Wajahnya datar. Dan kulihat kedua tangannya mengepal.
Lagi kutatap wanita itu. Ia tidak lagi menatap istriku. Ia memainkan jemari-jemarinya, seperti orang yang gugup.
Aku ikut terdiam. Kugenggam tangan kanan istriku. Moga-moga genggamanku dapat menenangkannya.
                                                       ***
Sepanjang perjalanan pulang istriku hanya diam. Ia terus menatap ke luar jendela.
Setibanya di rumah ia bergegas ke kamar. Saat berpapasan dengan anak-anak ia tidak menyapa mereka, tidak sperti kebiasaannya tiap kali tiba di rumah.
Kususul ia. Kudapati ia terduduk di tempat tidur dengan badan membungkuk dan wajah yang ditenggelamkan di balik kedua telapak tangan.
“Ma, saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau istri teman saya itu…”
Ia bergegas menatapku. Tidak ada tanda-tanda bila ia masih menangis. Ia tersenyum simpul. “Tidak pa-pa. Tidak perlu minta maaf. Papa, kan, juga tidak tahu.”
Kugenggam kedua tangannya. “Kalau kamu merasa tidak nyaman, bisa kita batalkan perjanjian kita. Biar teman saya pakai wedding organizer lain.”
“Tidak pa-pa. Ini event besar, sayang kalau ditolak.” Ia tersenyum lebar. Namun kutahu senyumnya itu kecut.
Aku menatapnya iba. “Kamu yakin tidak pa-pa?”
Ia membuang pandangannya dariku. Memegangi keningnya dengan satu tangan.
“Saya minta maaf.” Ucapnya lirih.
“Untuk apa?”
“Kamu boleh berbuat apapun setelah itu. Kamu layak untuk marah, untuk memaki saya, atau apapun yang kamu inginkan.”
Ia menyisir rambutnya dengan tangan kiri satu kali. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Saya masih cinta dengan dia.” Ucapnya kemudian. “Saya minta maaf, saya bersalah, saya berdosa.” Ia tersiak.
Kupegang kedua pundaknya dengan lembut, kudekap ia. “Tidak pa-pa. Tidak apa-apa.”
Ia menenggelamkan wajahnya dalam pelukku. Balas memelukku. Erat. Sangat erat sambil meremas bajuku. “Saya masih mencintai dia. Masih mencintai dia. Saya bersalah. Saya minta maaf.”
“Tidak pa-pa..tidak apa-apa.”
Dua puluh lima tahun aku memiliki keluarga yang berbahagia bersamanya. Ia menemaniku dan merawatku dengan tulus. Ia mendidik dan membimbing anak-anak kami dengan begitu sabar. Tidak pernah kulihat kehangatan dan ketenangan di kedua bola matanya berubah menjadi perasaan terbelenggu dan terpaksa. Tidak pernah kudapati senyumnya yang terpaksa dan kecut.
Ia selalu berpikir sederhana, tidak mau membuat segala masalah menjadi rumit, selalu tersenyum dan menyapa tiap orang yang berpapasan dengannya meski tidak ia kenali. Aku tidak pernah melihatnya menangis terkecuali saat ia putus dengan pacarnya tiga puluh tahun lalu. Ia Cuma menangis, tanpa isakan, tanpa sesenggukan dan tanpa tubuh yang bergetar. Ia menangis dalam tenang.
Hari ini aku kembali menemaninya menangis hingga ia terlelap. Kali ini ia menangis dengan isakan, sesenggukan dan tubuh yang bergetar. Tangisannya bagaikan arus tsunami yang bergulung-gulung tak keruan.
Dua puluh lima tahun berbahagia bersamanya. Kini baru kusadari bahwa selama itu akulah yang selalu memberikan ciuman sayang dan pelukan rindu. Tak pernah kudapati ia bersandar di pundakku dengan manja maupun memelukku secara tiba-tiba.
Hari ini ia terus memelukku erat. Meremas bajuku pada bagian punggung dan kerap kali kulitku ikut tercubit. Dua puluh lima tahun berlalu, dan hari ini aku tahu istriku baru saja jatuh cinta padaku.

                                                                        Selesai di Yogyakarta, 15 Juli 2016

 pukul 3:13 dini hari
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar: