Hari
ini adalah hari yang istimewa untukku dan istriku, sebab hari ini adalah
ulangtahun pernikahan kami yang ke dua puluh lima. Dan untuk pertama kalinya
dalam dua puluh lima tahun terakhir, kami merayakannya.
Istriku
bukan orang yang romantis, tidak terlalu suka hal-hal berbau romantic dan ia
tidak suka merayakan suatu peringatan.
Ia
memang tidak membenci hal-hal romantis, tapi, bila aku mencoba romantis
padanya, alih-alih ia akan tersipu malu dan meleleh, ia malah akan merasa geli
dan terkekeh-kekeh.
Ia
tidak pernah menyukai perayaan. Oleh karena itu kami tidak pernah merayakan
ulangtahun pernikahan kami. Saking tidak menyukai perayaan, ia pun kerap
melupakan ulangtahunku dan ulangtahunnya sendiri.
Meski
demikian, aku tetap merasa terbekati dan berbahagia dalam dua puluh lima tahun
terakhir. Sebab selama itu, meski ia tidak romantis dan sering melupakan
ulangtahunku, ia selalu membuatku tersenyum dan tertawa.
Perayaan
ulangtahun pernikahan kami hanya dirayakan olehku, istriku dan kedua anak kami:
Si Sulung yang berusia dua puluh tahun dan adiknya yang usianya setengah dari
kakaknya.
Jangan
tanya mengapa tiba-tiba kami merayakan ulangtahun pernikahan kami. Sebenarnya,
aku dan istriku tidak pernah ada rencanan merayakannya, semua ini adalah
persekongkolan di antara Si Sulung dan adiknya.
IStriku
tidak menyukai perayaan. Namun ia tetap berterimakasih kepada anak-anak kami
tanpa pakai acara tersipu malu dan pipi yang berubah jadi kemerahan mirip
kepiting rebus. Justru akulah yang sebenarnya merasa terharu dan gembira bukan
kepalang.
Anak-anak
kami memaksa kami buat saling mengucapkan sesuatu di hari ini.
“Harus
yang romantis.” Begitu paksa Si Bungsu. Sepertinya ia telah bosan hidup sepuluh
tahun tanpa pernah mendengar kalimat-kalimat gombal yang saling dilontarkan
oleh kedua orangtuanya.
Panjang
dan lebar aku berusaha mengucapkan sesuatu yang romantic yang disambut oleh
kata: “Cieee.” oleh kedua anak kami. Dan istriku membalasnya dengan kalimat
singkat dan tegas:
“Terimakasih
sudah betah jadi suami saya selama dua puluh lima tahun.”
Sudah,
cuma itu, tidak ada tambahan lainnya. Namun kalimat itu sukses membikin hari
ini terasa kian istimewa—meski mendapat protes dari Si Sulung dan Si Bungsu
sebab dianggap tidak romantis.
***
Aku
mengenalnya sejak SMA. Kami kawan satu kelas selama tiga tahun. Rekan satu
organisasi. Teman ketawa-ketiwi. Setelah lulus SMA tanpa sengaja masuk ke
universitas yang sama, beda fakultas, tidak lagi ikut organisasi yang sama,
tapi kami tetap menjadi kawan karib.
Di
mataku ia adalah gadis sederhana. Bukan cuma soal gaya hidup dan penampilan,
tapi cara ia berpikir pun juga sederhana, apa adanya, sampai terkesan terlalu
polos dan sering asal ceplos. Jika cinta maka ia akan bilang cinta. Jika benci
maka ia akan bilang benci. Tidak perlu pakai acara basa-basi. Ia akan berkata
jujur dari hati.
Ia
tidak menyukai kepura-puraan dan drama dalam menjalani hidup, tidak seperti
kebanyakan perempuan. Karena buatnya dua hal itu akan membuat hidup menjadi
rumit. Ia tidak mau memiliki hidup yang rumit, ia ingin terus berbahagia.
Saking
jujur dan apa adanya, konon beberapa lelaki yang pernah mencoba mendekatinya
dan menyatakan cinta padanya menjadi sakit hati dan menyuruh tiap lelaki yang
ingin mendekatinya buat berhati-hati.
“Saya
nggak mau jadi pacar kamu. Saya nggak cinta sama kamu.”
Begitulah
kalimat andalan yang ia ucapkan tiap ada lelaki yang menyatakan cinta padanya.
Tanpa mau basa-basi dan berhati-hati. Tidak terlalu peduli jika nanti membikin
para lelaki sakit hati.
Saat
kuliah untuk pertamakalinya ia memiliki pacar. Seorang lelaki yang tidak jelek
juga tidak tampan. Namun penampilannya cukup keren.
Setelah
setahun pacaran, lelaki itu jatuh cinta lagi. Diam-diam memiliki pacar lain.
Tak lama kemudian istriku—yang saat itu belum menikah denganku—mengetahuinya.
“Saya
minta maaf. Saya nggak bermaksud mengkhianati kamu. Kami cuma teman dekat.
Tidak lebih.” Begitu yang diucapkan oleh lelaki tersebut.
Saat
itu aku dan beberapa teman karib kami menguping perbincangan mereka. Sebab kami
sedang menganggur dan benar-benar butuh hiburan. Sebenarnya saat itu kami
mengharapkan ada aksi teriak-teriakan dan tampar-tamparan persis dalam
sinetron. Kami sudah siap-siap buat terbahak sambil saling meminjam ujung baju
teman terdekat buat mengelap ingus dan air mata sandiwara.
“Kalau
kamu cinta sama dia, jujur saja. Saya nggak akan marah.”
Lelaki
itu diam. Menatap istriku dengan takut-takut.
Istriku
balas menatap lelaki itu lekat-lekat. “Kamu cinta sama dia.”
“Tapi
saya masih cinta sama kamu.”
“Oke,
kalau begitu sekarang maunya gimana?”
“Saya…”
Lelaki itu tidak lekas melanjutkan kalimatnya.
“Kamu
inginnya pacaran sama saya dan dia, kan? Oke, saya nggak keberatan. Tapi gimana
sama dia? Dia mau? Kalau dia mau, ayo jalani. Kalau dia nggak mau, ya kamu
harus pilih salah satu.”
Kami
terkaget-kaget. Begitu pula dengan lelaki itu. Kami tidak menyangka ia akan
berkata seperti itu. Untuk pertama kalinya kami mendengar pernyataan seperti
itu dari mulut seorang perempuan yang sedang dikhianati oleh kakasihnya.
Bahkan, dari mulut seorang lelaki pun belum pernah kami dengar.
Lelaki
itu keheranan. “Kamu nggak salah bicara, kan? Nggak lagi menguji saya, kan?”
“Nggak.
Saya nggak salah bicara, kok. Lagian menguji buat apa? Menguji apakah kamu
setia sama saya atau nggak? Kata kamu, kamu masih cinta sama saya, artinya kamu
masih setia sama saya. Kalau kamu jatuh cinta lagi sama gadis lain, ya mau
gimana lagi? Kapan dan kepada siapa kita jatuh cinta, kan, bukan kita yang
menentukan. Jadi, ya, saya nggak pa-pa dan Cuma bisa kasih solusi seperti itu.”
Beberapa
minggu kemudian mereka putus. Alasan yang kudengar dari istriku, perempuan yang
dicintai oleh lelaki itu tidak sudi berbagi cinta. Dan menurut istriku,
cintanya buat lelaki itu tidak sebesar cinta perempuan tersebut. Maka selesai
lah urusannya. Tidak ada air mata. Tidak pula ada penyesalan yang kulihat di
wajahnya. Ia juga tidak lantas menjadi pemurung. Ia tetap suka mengumbar senyum
dan menayapa tiap orang yang berpapasan dengannya meski tidak ia kenal.
Begitulah
istriku. Tidak mau membuat hidupnya menjadi rumit. Menerima apa yang ada dalam hidupnya. Bahkan
hingga persoalan cinta yang seharunya bila dijalani oleh orang lain maka akan
menjadi rumit dan super mengharukan macam telenovela atau film India.
***
Manjadi
kawan karibnya membuatku tidak pernah bohong dan malu buat mengatakan segala
hal padanya. Begitu pula dengan dirinya. Kami amat terbuka. Saling berbagi aib
mengenai apapun, mulai dari yang amat sepele sampai yang nyaris mencoreng nama
baik dan harga diri.
Hingga
akhirnya tiba hari di mana aku menyukai tiap hal darinya. Hari di saat aku
selalu ingin mendengar suara dan tawanya. Saat aku selalu ikut tersenyum jika
melihatnya tersenyun. Saat aku merasa berbahagia tiap kali menatap kedua bola
matanya yang kurasai selalu memancarkan kehangatan dan ketenangan.
Aku
menyadari bahwa aku mengaguminya. Aku tidak menampik hal itu. Dan aku tidak
menyumbinyakan hal tersebut darinya.
“Sepertinya
saya on the way jatuh cinta sama
kamu.” Ucapku padanya setelah aku tidak bisa lagi menahan kekaguman dan rasa
sukaku kepadanya.
“Kamu?
Jatuh cinta sama saya?” Tanyanya sangsi.
Aku
mengangguk. “Nggak tahu kenapa, sepertinya saya suka dan kagum sama kamu. Tapi
belum tentu saya jatuh cinta sama kamu. Baru akan jatuh cinta. Dan tidak tahu
bakal jatuh cinta tau nggak.”
Dia
tersenyum simpul dan mengangguk. “Kalau begitu silakan mengagumi saya. Kalau
akhirnya jatuh cinta, moga-moga tidak patah hati karena saya tidak cinta sama
kamu. Tapi kalau sampai bertahun-tahun kamu tetap mencintai saya dan tiba-tiba
suatu hari saya jadi balas mencintai kamu, maka selamat, Tuhan berarti sayang
banget sama kamu.” Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Kemudian
kami terkekeh bersama.
Begitulah
caraku menyatakan perasaanku padanya. Tidak perlu malu-malu apalagi pakai acara
pipi yang memerah. Tidak pula berbasa-basi dan berpuisi. Tegas dan lugas.
Dikahiri dengan tawa keakraban sepasang sahabat.
***
Ia
tidak suka membuat segala sesuatu menjadi rumit. Bahkan persoalan cinta yang
bila dijalani oleh orang lain akan menjadi serumit telenovla pun menjadi
sederhana bila ia yang menjalani.
Setahun
setelah kami lulus kuliah dan berpisah, kami membuat janji buat bertemu kembali
untuk melepas rindu yang telah membuncah.
“Jadi,
sekarang sedang pacaran atau nggak?” Tanyaku setelah saling sapa dan menanyakan
kabar.
Ia
mengangguk. “Seorang wanita yang tidak sengaja bertemu dengan saya saat nonton
pertunjukan orkestra.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tidak
ada rasa malu maupun takut yang tersirat di wajahnya. Malahan ia tersenyum
cukup lebar
“Really? Ternyata ada seorang wanita yang
mau dengan wanita seperti kamu.” Aku tersenyum meledek, membalas candaannya.
“Saya
serius.” Ia tersenyum simpul. Menatapku lekat.
Aku
diam sejenak. Balas menatapnya lekat. Mencerna ucapannya. Kemudian mulutku
lebih dulu terbuka sebelum kata-kata keluar.
“Kamu,
sungguhan pacaran sama perempuan?”
Ia
tersenyum lebar. “Saya sudah tahu ekspresimu akan seperti apa. Selamat
terkaget-kaget. Dan kalau habis ini kamu malu punya teman seperti saya,
silakan.”
“Bagaimana
bisa?”
“Bagaimana?
Lho, jatuh cinta itu, kan, ya tinggal jatuh cinta saja. Nggak gimana-gimana.
Kalau memang kenyataannya saya jatuh cinta sama perempuan, ya sudah, memang
seperti itu adanya. Gitu saja, kok, bertanya bagaimana bisa.”
Aku
mengusap wajahku. “Lalu, saya harus bagaimana? Kamu suruh saya buat jaga
rahasia atau bagaimana?”
Keningnya
berkernyit. “Jadi, ini rahasia?”
Kini
giliran keningku yang berkernyit.
Ia
tersenyum lebar. “Jadi menurut kamu ini aib? Ya, kalau kamu menganggapnya
demikian, maka menurut kamu bagaimana seharusnya seorang sahabat menanggapi aib
sahabatnya? Tapi kalau buat kamu ini kabar baik, ya, menurut kamu bagaimana seorang
sahabat menanggapi kabar baik dari sahabatnya? Sederhana,kan.” Ia mengedipkan
sebelah matanya sambil mengangkat cangkir kopinya.
Aku
terdiam dan mengusap wajah.
Ia
selalu menghadapi segala masalah dengan tenang dan membuat semuanya menjadi
sederhana, bahkan masalah yang amat rumit pun.
***
Lima
tahun berlalu dan kami kembali bertemu. Sore hari di bibir pantai. Kami duduk
bersebelahan menatap laut dengan beralaskan pasir.
“Kami
putus.” Ucapnya tanpa menatapku.
Aku
menatapnya. “Kami? Kamu dengan perempuan itu?”
Ia
mengangguk dan tersenyum tipis.
“Kenapa?”
“Ia
jatuh cinta lagi. “
“Dengan
perempuan lain?”
“Dengan
laki-laki.”
“Siapa
yang memutuskan?”
Ia
mengalihkan pandangannya padaku. “Menurut kamu?”
Ada
yang berbeda dari wajahnya. Senyum itu amat samar. Kedua matanya sayu. Tidak
kudapati kehangatan dan ketenangan di balik kedua bola matanya. Dan aku tahu
bahwa ia benar-benar mencintai wanita itu.
“Dia.”
Jawabku.
Ia
tersenyum simpul. Kembali menatap lautan.
“Kamu
melepaskannya begitu saja?”
“Ya.
Dia minta berpisah. Masa saya paksa dia buat tetap tinggal?”
Aku
terdiam, mencoba ikut merasai kesedihannya.
Ia
menarik napas panjang kemudian melepaskannya. “Ternyata, melepaskan seseorang
yang kita cintai cukup menyakitkan.” Ia menutup kedua matanya. Menangis. Tidak
ada sepuluh detik kedua mata itu segera membuka.
“Tapi
ini tidak akan lama. Kamu jangan khawatir. Saya akan tetap berbahagia.” Ucapnya
kemudian sambil memaksakan senyumnya.
Sore
itu aku menemaninya menangis hingga larut malam. Namun tidak ada isakan. Tidak
pula tubuh yang bergetar. Cuma air matanya yang terus mengalir.
***
Dua
tahun kemudian tanpa sengaja kami dipertemukan di pantai yang berbeda. Kudapati
dirinya dengan senyum lebar dan bola mata yang bercahaya.
“Apa
kabar?” Tanyanya terlebih dahulu.
“Bosan
terjebak di balik beton pencakar langit. Kabarmu sendiri bagaimana?” Tanyaku
padanya.
“Masih
belum jatuh cinta lagi karenasepertinya masih mencintai yang dulu. Tapi saya
berbahagia. Kamu lihat sendiri keadaan saya, kan?”
“Kamu
terlihat lebih gemuk.”
“Oh,
jelas, dong. Saya, kan, selalu berbahagia.”
“Kebetulan
kita ketemu. Ketua kelas terkahir kita bakal menikah bulan depan. Dia mau kirim
undangan buat kamu, tapi susah menghubungimu. Dia titipkan ke saya. Tapi nggak
saya bawa.”
“Lho,
cowok ganteng seperti dia malah baru akan menikah? Saya pikir sudah dari dulu.”
“Ya,
begitulah. Kalau dia sudah menikah, kurang kita berdua. Teman-teman satu kelas
sudah sebar undangan semua.”
“Jadi,
kamu kapan sebar undangan juga?”
“Tergantung
kamu maunya kapan.”
Ia
terkekeh.
“Dulu
saya pernah bilang kalau saya suka sama kamu dan on the way jatuh cinta. Sebenarnya sudah lama saya akhirnya jatuh
cinta sama kamu.”
Ia
tersenyum geli dan menatapku.
“Barangkali
ini adalah “suatu hari nanti” yang dulu kamu sebutkan. Jadi, kamu jatuh cinta
balik nggak sama saya?”
Ia
tersenyum simpul. “Saya nyaman dan senang kenal kamu. Tapi untuk saat ini saya
belum jatuh cinta sama kamu. Lagi pula, saya masih cinta sama dia.”
Ia
menatap lautan. “Sebenarnya saya kesepian. Enak sepertinya kalau punya pacar
baru. Tapi saya belum jatuh cinta lagi.”
“Saya
mau, kok.”
“Tapi
saya nggak cinta sama kamu.”
“Nggak
masalah. Yang penting kamu nggak kesepian.”
“Memang
kamu mau pacaran sama saya padahal saya nggak cinta kamu?”
“Menikah.
Ayo kita menikah. Menikahlah dengan saya maka kamu akan jatuh cinta dengan
saya.”
Ia
terdiam. Wajahnya berubah menjadi serius. “Ini bukan hal yang sederhana.”
Aku
tersenyum geli. “Jadi, kamu yang selalu menganggap segalanya serba sederhana,
kini menganggap hal ini tidak lagi sederhna? Kok, bisa?”
“Kamu
tidak mengerti. Saya masih cinta dengan dia. Dan saya tidak cinta sama kamu.”
“Kamu
tidak jatuh cinta lagi tapi kamu kesepian. Saya siap menemani agar kamu tidak
kesepian. Kalau akhirnya kamu jatuh cinta dengan saya, itu adalah pencapaian
yang saya tuju. Kalau akhirnya kamu tidak jatuh cinta dengan saya, setidaknya
kamu sudah tidak kesepian. Lagi pula saya juga kesepian. Anggap saja kita
menikah karena sama-sama kesepian. Soal cinta belakangan, yang penting rasa
sepi terobati dulu. Simple, kan?”
Kami
saling tatap dan diam beberapa saat.
“Kamu
akan tersakiti. Jangan salahkan saya bila akhirnya saya tidak jatuh cinta.”
Aku
mengangguk dan tersenyum. “Jadi, kita menikah?”
Ia
tersenyum geli. “Kita nikmati hubungan ini dulu, jangan terburu-buru.”
****
Perayaan
langtahun pernikahan yang ke dua puluh lima itu telah berlalu tiga bulan.
Hari
ini aku dan istriku punya janji dengan seorang rekan kerjaku. Anak pertamanya
akan menikah dan membutuhkan wedding
organizer. Teman-teman kantor menyarankan untuk meminta bantuan istriku.
Aku
dan istriku baru saja tiba di restaurant yang telah direncanakan. Kami telat
lima menit. Segera aku celingukan begitu tiba di dalamnya. Tak lama kemudian
kudapati seorang lelaki melambaikan tangan kepadaku.. Aku dan istriku segera
menghampirinya.
“Maaf
agak terlambat. O, ya, ini istri saya.” Ucapku.
Rekanku
tersenyum. “Ya, tidak apa-apa. Selamat pagi.” Ia menjabat tangan istriku.
“Silakan
duduk. Tunggu sebentar, ya. Istri saya sedang ke toilet. Sebentar lagi kembali.
Ah, itu istri saya.”
Aku
dan istriku yang baru saja duduk spontan megikuti arah pandang rekanku.
Seorang
wanita berambut pendek berjalan mendekati kami. Aku dan istriku sudah memasang
senyum dan bersiap berjabat tangan dengannya.
“Ma,
ini, lho, teman Papa yang istrinya seorang wedding organizer.” Ucap rekanku
setelah wanita itu bergabung dengan kami.
Aku
tersenyum ramah kepadanya. Bersiap menjabat tangan. Namun wanita itu tidak
tersenyum kepadaku. Ia terdiam. Menatap ke satu arah. Istriku.
Kutatap
istriku. Ia tidak lagi tersenyum. Wajahnya datar. Dan kulihat kedua tangannya
mengepal.
Lagi
kutatap wanita itu. Ia tidak lagi menatap istriku. Ia memainkan
jemari-jemarinya, seperti orang yang gugup.
Aku
ikut terdiam. Kugenggam tangan kanan istriku. Moga-moga genggamanku dapat
menenangkannya.
***
Sepanjang
perjalanan pulang istriku hanya diam. Ia terus menatap ke luar jendela.
Setibanya
di rumah ia bergegas ke kamar. Saat berpapasan dengan anak-anak ia tidak
menyapa mereka, tidak sperti kebiasaannya tiap kali tiba di rumah.
Kususul
ia. Kudapati ia terduduk di tempat tidur dengan badan membungkuk dan wajah yang
ditenggelamkan di balik kedua telapak tangan.
“Ma,
saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau istri teman saya itu…”
Ia
bergegas menatapku. Tidak ada tanda-tanda bila ia masih menangis. Ia tersenyum
simpul. “Tidak pa-pa. Tidak perlu minta maaf. Papa, kan, juga tidak tahu.”
Kugenggam
kedua tangannya. “Kalau kamu merasa tidak nyaman, bisa kita batalkan perjanjian
kita. Biar teman saya pakai wedding
organizer lain.”
“Tidak
pa-pa. Ini event besar, sayang kalau
ditolak.” Ia tersenyum lebar. Namun kutahu senyumnya itu kecut.
Aku
menatapnya iba. “Kamu yakin tidak pa-pa?”
Ia
membuang pandangannya dariku. Memegangi keningnya dengan satu tangan.
“Saya
minta maaf.” Ucapnya lirih.
“Untuk
apa?”
“Kamu
boleh berbuat apapun setelah itu. Kamu layak untuk marah, untuk memaki saya,
atau apapun yang kamu inginkan.”
Ia
menyisir rambutnya dengan tangan kiri satu kali. Lalu menutup wajahnya dengan
kedua tangan.
“Saya
masih cinta dengan dia.” Ucapnya kemudian. “Saya minta maaf, saya bersalah,
saya berdosa.” Ia tersiak.
Kupegang
kedua pundaknya dengan lembut, kudekap ia. “Tidak pa-pa. Tidak apa-apa.”
Ia
menenggelamkan wajahnya dalam pelukku. Balas memelukku. Erat. Sangat erat
sambil meremas bajuku. “Saya masih mencintai dia. Masih mencintai dia. Saya
bersalah. Saya minta maaf.”
“Tidak
pa-pa..tidak apa-apa.”
Dua
puluh lima tahun aku memiliki keluarga yang berbahagia bersamanya. Ia
menemaniku dan merawatku dengan tulus. Ia mendidik dan membimbing anak-anak
kami dengan begitu sabar. Tidak pernah kulihat kehangatan dan ketenangan di kedua
bola matanya berubah menjadi perasaan terbelenggu dan terpaksa. Tidak pernah
kudapati senyumnya yang terpaksa dan kecut.
Ia
selalu berpikir sederhana, tidak mau membuat segala masalah menjadi rumit,
selalu tersenyum dan menyapa tiap orang yang berpapasan dengannya meski tidak
ia kenali. Aku tidak pernah melihatnya menangis terkecuali saat ia putus dengan
pacarnya tiga puluh tahun lalu. Ia Cuma menangis, tanpa isakan, tanpa
sesenggukan dan tanpa tubuh yang bergetar. Ia menangis dalam tenang.
Hari
ini aku kembali menemaninya menangis hingga ia terlelap. Kali ini ia menangis
dengan isakan, sesenggukan dan tubuh yang bergetar. Tangisannya bagaikan arus
tsunami yang bergulung-gulung tak keruan.
Dua
puluh lima tahun berbahagia bersamanya. Kini baru kusadari bahwa selama itu
akulah yang selalu memberikan ciuman sayang dan pelukan rindu. Tak pernah
kudapati ia bersandar di pundakku dengan manja maupun memelukku secara
tiba-tiba.
Hari
ini ia terus memelukku erat. Meremas bajuku pada bagian punggung dan kerap kali
kulitku ikut tercubit. Dua puluh lima tahun berlalu, dan hari ini aku tahu
istriku baru saja jatuh cinta padaku.
Selesai
di Yogyakarta, 15 Juli 2016
pukul 3:13 dini hari
0 komentar: