Catatan : Iya, gue tau ini geje dan kepanjangan. Jadi terserah kalian mau nyebut ini cerpen atau novelet atau apa ajalah, tapi tetep aja gue bilang kalau ini cerpen. Selamat membaca aja deh!
Aku suka jika hujan turun. Karena aku selalu
ingat, ketika hujan turun aku bisa menghabiskan waktu hingga dua jam hanya
berdua denganmu saja.
Aku ingat, ketika hujan turun, kau selalu
menunggu jemputanmu tiba, begitu juga denganku. Entah kenapa, jemputanku dan
jemputanmu selalu datang paling akhir dibanding anak-anak lain.
Saat kita menunggu bersama, seringkali hujan
turun. Aku tahu betul kebiasaanmu ketika hujan turun. Kau hampir selalu
menengadahkan kedua tanganmu di bawah tetesan air dari atap sekolah. Lalu kau
akan usil mencipratkannya padaku, dan jika aku membalasmu kau selalu saja
ngambek.
Atau, kau selalu menyobek halaman tengah
buku tulismu. Lalu melipat kertas itu hingga membentu perahu. Lalu kau
menghanyutkannya pada selokan di depan kita. Ka uterus menatap perahu itu
berlayar hingga menghilang dari hadapan kita.
Aku suka jika hujan turun. Karena sering
kali ketika kau mengerjakan tugas di rumahku yang hanya berjarak empat rumah
dengan rumahmu, hujan sering kali turun, menghambat kepulanganmu. Saat itu lah
kau lebih banyak mengeluarkan suaramu dibanding saat di sekolah. Kau ceritakan
segala hal padaku. Dan saat itulah aku semakin mengenal dirimu.
Juli 2015
Sejak
setengah enam tadi matahari bermalas-malasan, hingga detik ini ia tak juga
muncul. Kelabu, itu adalah warna yang mendominasi langit pagi ini.
Aku masih
berdiri tegak, menatap beberapa jenis bunga yang tumbuh subur di taman rumah
sakit ini. Entah sudah berapa lama, mungkin sudah hampir satu jam.
Di
belakangku, aku tahu kau tengah duduk sambil menatapku, aku bisa merasakan itu.
Namun sejak tadi kau sama sepertiku, hanya diam.
Aku tak
tahu harus berkata apa denganmu, karena terlalu lama aku menjauh darimu hingga
canggung hadir di dalam jiwaku saat ini. Seolah aku baru saja bertemu dengan
seseorang yang sekali pun belum pernah
bertemu denganku.
Mengapa kau
tak mengatakan sesuatu padaku? Marahkah kau padaku karena selama ini aku
menghindarimu? Atau mungkin kau takut karena kau berpikir bahwa justru akulah
yang marah padamu sehingga membuatku menjauh darimu?
“Kenapa,
sejak tadi langitnya mendung terus ya?” Tanyamu tiba-tiba.
Aku
melirikmu. Ku lihat kau tengah menatap langit yang diselimuti gumpalan awan
kelabu.
“Mendung
terus, tapi kenapa nggak hujan-hujan ya?” Tanyamu lagi.
Aku tak
menanggapi pertanyaanmu, karena aku tak tahy mesti berkata apa.
“Aku pengen
deh, sekarang hujan turun. Rasanya udah lama banget nggak hujan-hujanan kaya
dulu.”
Aku tetap
diam.
Semenit
berlalu, aku tak lagi mendengar ocehanmu. Bisu kembali menyelimuti kita.
****
Juni 2014
Aku ingat
kejadian sore itu, ketika langit mengutus gerimis untuk turun ke bumi. Hari
dimana untuk pertama kalinya aku menolak permintaanmu. Hari dimana aku melihat
ada yang beda darimu
“Steven!”
Seseorang memanggilku, ketika aku hendak pergi ke ruang ganti. Aku enggan
berhenti, karena ku tahu itu pasti dirimu. Aku hapal betul suaramu.
“Stev!
Tunggu.” Ku dengar kau memanggilku lagi, memintaku untuk berhenti melangkah.
Namun aku terus saja melangkah. Tiba-tiba sebuah ide datang di otakku. Segera
ku ambil headset di dalam tasku, lalu ku sumbat kedua kupingku dengan headset
itu. Ujung headset itu ku masukkan ke dalam saku celanaku. Berlagak tengah
mendengarkan music, walau ujung headset itu tak ku hubungkan pada port
handphoneku.
“Stev..!”
Ku percepat langkahku, berharap kau menyerah dan berhenti memanggilku. Jujur,
siang itu aku tak ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjauh darimu.
“Stev…..ven.
Tung….gu.” Ku dengar suaramu terbata-bata, sepertinya kau terengah-engah. Entah
kenapa mendengar suaramu seperti itu membuatku merasa khawatir. Segera ku
balikkan badanku, mencoba memastikan keadaanmu.
Ku lihat
kau berdiri beberapa langkah cukup jauh di depanku. Namun dari tempatku, aku
bisa melihat pergerakan dada dan perutmu. Aku tahu kau pasti terengah-engah.
Aku ingin menghampirimu, namun ada suatu bisikan di telingaku yang menyuruhku
untuk tak mendekatimu. Aku diam di tempat, mematung sambil menatapmu.
Ku lihat
kau mengusap hidungmu berulang kali. Aku tak bisa terus berdiam diri mematung.
Aku tahu keadaanmu kini sedang tidak baik-baik saja. Segera ku berlari kecil
menghampirimu.
Ketika aku
datang, kau masih sibuk mengusap hidungmu. Ku lihat cairan berwarna merah hati
terus mengalir dari lubang hidungmu. Kau berusaha untuk membersihkannya.
“Sa…,
ka..kamu nggak papa?” Tanyaku iba. Mungkinkah ini salahku? Membiarkanmu berlari
mengejarku. Membuat cairan itu mengalir.
Kau
berhenti mengusap hidungmu. Kau tatap aku. Aku bisa melihat wajahmu begitu
jelas. Saat itu, aku bertanya pada diriku, siapakah yang ada di hadapanku?
apakah yang ada di hadapanku adalah dirimu atau bukan? Karena aku merasa bahwa
bukan dirimu yang tengah berdiri di hadapanku, melainkan sesosok mayat hidup.
Ya, kau mirip mayat. Kulitmu lebih putih dari biasanya. Tatapanmu sayu. Bibirmu
kering.
Kau tak
berkata apapun, kau hanya menggeleng.
“Tadi kamu
manggil aku?” Tanyaku bodoh.
Kau
mengangguk.
“Maaf ya,
aku nggak denger. Tadi lagi dengerin musik.” Ucapku bohong sambil melepas
headset yang menyumbat kedua kupingku.
Kau
mengangguk sambil menyunggingkan sebuah senyum manis. “Nggak papa kok.”
“Ada apa?”
“Mau latian
basket ya? Selesai jam berapa?”
“Kamu nggak
dijemput?”
Kau
menggeleng “Mama sama Papa lagi ke Surabaya, nengok Kak Azriel. Terus, mobil
yang satunya lagi masuk bengkel.”
Ku pasang
wajah penuh penyesalan “Yah, maaf Sa. Tapi aku nanti pulang maghrib. Kamu mau
nunggu aku sampai maghrib?”
Ku lihat
kekecewaan terpancar dari kedua bola matamu.
“Maaf ya
Sa.”
“Iya, nggak
papa kok. Ya udah kalau gitu, aku naik taksi aja. Eee, aku duluan ya.”
Kau segera
membalikkan badanmu, melangkah menjauh dariku. Ku tatap punggungmu hingga
menjadi sebuah titik kecil tak kasat mata.
Kau tahu? Sore itu anak basket tengah menjadi pemain drama. Aku memang ada latihan basket,
namun sejujurnya tak sampai maghrib, aku latihan basket hanya sampai jam
setengah lima sore.
Maaf aku
berbohong padamu. Namun sore itu entah kenapa rasanya aku enggan pulang
bersamamu, dan aku enggan jika harus berdua denganmu.
Maaf
tentang kejadian sore itu, karena kejadian sore itu adalah gerbang kebohonganku
selanjutnya.
***
Januari 2013
Sadarkah
kau? Tiap ada momen khusus dalam hidupmu, angkasa seolah telah merencanakan
untuk mengutus rintik hujannya ke bumi. Seperti
suatu hari sepulang sekolah kau berteriak nyaring setelah membaca SMS
yang awalnya aku tak tahu dari siapa.
“Apaan sih
teriak-teriak?” Tanyaku sewot karena teriakanmu itu membuat telingaku serasa
tuli secara tiba-tiba.
Kau
mengacungkan telunjuk dan jari tengah kedua tanganmu sambil tersenyum lebar.
“Maaf..” Ucapmu dengan wajah sumringah, bahkan setitik rasa bersalahpun tak ku
lihat di wajahmu.
“Aku seneng
banget Stev.”
“Seneng
banget, terus pake acara bikin telinga orang budek?”
“Maaf. Udah
minta maaf juga, sewot banget sih.” Ucapmu kesal.
Aku diam,
memasang wajah jengkel. Sesaat kemudian kau sodorkan ponsel cerdasmu ke depan
wajahku.
From:
Bu Maya
Ibu td ke Dinas penddikan
Kmu juara satu, maju ke provinsi
Begitu
tulisan yang ku baca di layar ponselmu. Aku memandangmu tak percaya.
“Dari lima
peserta?”
“Enak aja!”
Kau memukul lengan kananku sedikit keras hingga berbunyi. “Nggak ngerti dari
berapa peserta, yang aku ingat dari empat puluh satu sekolah.”
Dan, hari
ini pun menjadi momen yang menurutku itu adalah momen besar untukmu. Hari ini
Adit dengan malu-malu menyatakan perasaannya.
Kau tahu?
Agatha, sahabatmu yang juga merupakan sepupu tak ku kehendaki (ya, karena Tuhan
tanpa meminta persetujuanku menakdirkanku memiliki sepupu selayaknya ibu tiri
dalam kisah Cinderella sepertinya) Menakut-nakutiku.
“Hari ini
Adit mau nembak Lissa. Lo udah tahu?” Tanyanya datar.
“Ya udah
lah, orang dia temen gue.”
“Terus?”
“Terus?
Maksudnya?”
“Ya terus
lo gimana? Ngebiarin aja Lissa ditembak Adit?”
“Ya iyalah.
Masa gue mau nglarang Adit nembak Lissa?”
“Lo nggak
papa?”
“Ya nggak
papa.”
Agatha
memasang wajah putus asa “Kok lo nggak ada ekspresi apa-apa sih? Masa gitu?
Lissa mau ditembak Adit kok lo tenang-tenang aja?”
Aku tertawa
geli. “Oh, maksud lo, gue suruh panik gitu. Suruh panas, suruh was-was kaya lo
gitu? Suruh berlebay-lebay ria?”
“Ya iyalah,
dimana-mana kalau gebetan kita mau diambil orang jelas kita khawatir.”
“Santai aja
lah. Selama ini siapa sih yang pernah diterima Lissa? Lagian lo sendiri kan
yang bilang kalau Lissa itu Royal
Princess. Like a diamond, Cuma
orang-orang yang bener-bener mampu aja yang bisa jadi pacarnya. Jadi, santai
aja lah.”
“Iya, emang
bener. Tapi, gimana kalau kali ini dia nerima Adit?”
“Ya,
berarti gue harus turut berbahagia karena sahabat gue jadian sama sahabat kecil
gue.” Ucapku sambil tersenyum santai.
Kau tahu,
aku selalu memasang wajah riang dan santai di hadapan Agatha dan aku selalu
sukses membuatnya percaya bahwa aku baik-baik saja, walau kenyatannya aku tak
begitu. Kenyataannya aku selalu khawatir bila ada seseorang yang menyatakan
perasannya padamu.
Jujur,
siang tadi aku begitu khawatir. Aku takut jika kau juga memiliki rasa yang sama
dengan Adit. Karena sama dengan anak-anak yang lain, menurutku kau dan dia
begitu serasi. Menurutku, kau dan dia begitu dekat. Dan aku selalu melihat kau
selalu tertawa bahagia saat dia ada di dekatmu.
Namun
sepertinya Cupid siang tadi batal
untuk datang ke taman sekolah, hadir di antara kau dan Adit. Karena siang tadi
langit tampak pucat, matahari bersembunyi malu-malu dibalik kelabunya awan.
Meski di sekolah tadi hujan belum turun, mungkin di rumah Cupid, hujan sudah
turun dengan lebat, sehingga ia enggan datang untuk memanah hatimu untuk Adit.
Tak perlu
berbohong, tentu aku senang ketika kau mengatakan. “Di luar sana, ada yang jauh
lebih baik dari aku yang aku yakin juga memiliki rasa yang sama dengan yang
kamu rasakan.”
Tapi aku
ingin tertawa jika harus berkata jujur tentang perasaanku. Aku senang, namun
aku merasa kasihan pada Adit. Ya, kau tahu kan dia sahabatku? Sangat kejam
rasanya jika aku harus tertawa bahagia ketika Royal Princess sepertimu tak memiliki rasa yang sama dengan apa
yang ia rasakan. Namun, kenyataannya aku memang bahagia ketika aku tahu hal
itu. Ah, aku memah sahabat yang kejam.
Kau tahu?
Tuhan adalah sutradara yang sangat pandai membuat sebuah drama kehidupan.
Ketika kau mengatakan hal itu, mendadak saja gerimis turun. Lucu, itu
menurutku. Adit tak menangis, namun ku tahu hatinya menangis, dan langit
mewakili tetesan air matanya dengan air hujan.
***
Maret 2013
Pagi ini
aku dan yang lain begitu menanti kehadiranmu. Tiga hari kau tak hadir di antara
kami, demi mengharumkan nama sekolah bersama grup orchestra sekolah. Kami
sangat ingin mendengar pengalamanmu selama tiga hari di luar kota. Kami ingin
tahu apakah kau dan anak-anak orchestra lainnya pulang membawa kemenangan atau
tidak.
Jam
menunjukkan pukul 06:50 tapi kau belum juga muncul di hadapanku dan yang
lainnya, hingga bel tanda pelajaran pertama dimulai kau belum juga muncul di
hadapan kami.
Sepuluh
menit berlalu, ketika guru berwajah eropa dengan mata sipit seperti orang
Jepang itu mengabsen kami, tiba-tiba saja pintu kelas yang tadinya tertutup
rapat secara perlahan terbuka. Sesosok gadis berambut panjang yang acak-acakan
muncul dari balik pintu, gadis itu adalah kau.
Kau
melangkah mendekati guru itu sambil merapikan dirimu. Penampilanmu tak seperti
anak lainnya. Kau layaknya seorang atlet yang baru saja selesai mengikuti lomba
maraton.
“Maaf Pak,
saya terlambat.” Ucapmu tanpa memandang guru itu. Entah mengapa kau menundukkan
wajahmu, tak memandang guru itu. Mungkin, saat itu kau berpikir bahwa yang ada
di hadapanmu adalah Pak Eros, maka kau merasa takut lalu menundukkan wajahmu.
Kau salah,
guru itu bukan Pak Eros, melainkan Kak David. Guru paling cakep dan kece
menurut sahabat-sahabat perempuanmu, dan tak bisa ku pungkiri, menurutku juga
begitu, guru itu tampan dan keren bahkan menurut semua anak laki-laki di kelas
kita, guru itu memang tampan dan keren.
Guru itu
memandangmu dalam diam. Ia menatapmu lekat, entah mengapa guru itu tak berkata
apapun. Perlahan kau mengangkat wajahmu, mungkin saat itu kau kebingungan
mengapa Kak David yang kau kira Pak Eros tak berkata apapun dan tak memarahimu.
“Lissa?”
Ucap guru itu ragu ketika kau telah mengangkat wajahmu.
Ku lihat
ada rasa kaget yang terpancar dari kedua matamu, dan pada wajah Kak David pun
juga begitu. Kalian saling diam beberapa detik, tak sampai satu menit.
Jika apa
yang kau alami adalah sebuah sinetron atau film, mungkin benda-benda dan orang
lain di sekitar kalian menjadi blur.
Lalu terdengar music tegang atau menye-menye.
Namun kenyataannya tak begitu, karena kejadian itu bukanlah sinetron ataupun
film.
Kau segera
menundukkan wajahmu lagi. Entah itu hanya perasaanku atau bukan, ku rasa kau
begitu ketakuatan dan tak ingin menatap wajahnya.
“Ee..saya
boleh duduk?” Tanyamu sedikit terbata.
Kak David
mengedipkan kedua matanya, dengan kikuk dia menjawab. “E, eh, iya. Boleh,
silahkan duduk aja.”
Kau berjala
cepat munuju bangkumu, seolah kau menghindari cowok itu.
Kenapa Lissa kaya kaget gitu ya? Kaya udah
pernah ketemu Kak David, apa emang pernah ketemu, atau mungkin mereka saling kenal?
Batinku bertanya.
***
September 2013
Kemarin
sore di rumahku, seperti biasa aku dan kamu mengerjakan pekerjaan rumah. Kali
ini tak tahu kenapa kau yang meminta untuk datang ke rumahku. Padahal hari itu
aku sedang tak membutuhkan bantuanmu, dan ku rasa kau tak pernah minta
bantuanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena mungkin kau sadar bahwa aku
terlalu bodoh untuk membantu anak secerdas dirimu menyelesaikan pekerjaan
rumah.
Ada yang
beda darimu. Kau tampak tak bersemangat. Sebisa mungkin ku coba untuk
bersikap biasa dan menceritakan berbagai
hal padamu agar kau tersenyum Ya, kau memang tersenyum, namun ku tahu senyummu
itu bukan senyum yang biasanya kau berikan untuk orang-orang di sekitarmu.
Senyummu adalah sebuah senyum simpul yang relatif sepat bak pisang belum
matang. Bukan senyum masam yang menyegarkan yang dimiliki oleh jeruk nipis,
senyummu sepat, menggelikan di lidah.
Aku
menyerah. Lalu suasana selayaknya lagu milik Jamrud yang berjudul Pelangi di
Matamu pun terjadi. Tiga puluh menit aku dan kamu saling diam dan membisu.
Hingga akhirnya aku berusaha memancingmu agar kau mau menceritakan hal yang ku
duga telah membuncah di dalam benakmu.
Memancingmu
bicara seperti memancing ikan hiu dengan pancingan
ikan lele. Rambutku serasa memutih, gigiku mulai ompong, dan aku pun mulai
terbungkuk demi menunggumu bicara.
Puji Tuhan Pekikku dalam hati ketika kau
mulai membuka suara.
Saat kita
sampai pada pertengahan ceritamu menuju klimaks. Tuhan mengagetkanku dengan
suara petir, aku berteriak bak anak perempuan, dank au…Kau diam dan memasang
wajah datar. Rasanya saat itu jiwaku dan jiwamu tertukar. Bukankah seharusnya
aku yang santai sepertimu dan kau yang menjerit kaget selayaknya mahluk bernama
hawa pada umumnya?—berteriak lebay.
Aku terus
mendengarkan ceritamu. Ya terus mendengarkannya, hingga akhirnya ku tahu siapa
tokoh utama selain dirimu dalam ceritamu.
Kagetku
ketika mendengar nama itu melebihi kagetku ketika mendengarkan suara petir
tadi. Di akhir ceritamu kau hanya diam, dan aku tak bisa menanggapinya, aku tak
bisa berkata apa-apa, atau lebih tepatnya aku tak berani berkata apapun.
Sore itu
aku jadi tahu, apa alasanmu mempertahankan kesendirianmu dan menolak banyak Royal Prince yang berusaha untuk
memilikimu.
Aku biarkan
kau diam. Ya…ya, dan akhirnya lagu Jamrud itu terjadi lagi untuk yang kedua
kalinya.
Aku
menatapmu iba. Wajahmu sendu, namun ku lihat matamu memerah. Ku tahu kantung
matamu sudah penuh dengan air mata. Mengapa tak kau teteskan saja?
Seolah
terhipnotis, tanpa sadar tangan kananku menggenggam tangan kananmu. Aku sedikit
geli melihat perbedaan kulitku dan kulitmu, bagaikan susu vanilla dan susu
coklat. Tentu milikku lah yang menjadi susu coklat.
“Nangis aja
Sa, jangan ditahan.” Ucapku sambil menatapmu sendu.
Kau
mengatupkan kedua kelopak matamu, dan saat itu juga aliran sungai terbentuk di
kedua pipimu, bersamaan dengan langit yang juga menangis.
***
Aku takut,
setelah aku mendengar ceritamu. Kini Royal
Princess telah bertemu dengan Royal
Princenya. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku
Tenang Stev, Lissa kan masih marah sama Kak
David. Lissa kan udah bilang kalau sepertinya dia nggak akan nerima Kak David
lagi. Lo nggak perlu khawatir
Itu yang
selalu ku katakan pada diriku. Aku berusaha untuk tenang dan tak terlalu khawatir,
namun tetap saja aku selalu takut. Terlebih ketika pelajaran music, dimana aku
selalu melihat Kak David memberikan pandangan yang berbeda untukmu tak seperti
pandangan yang ia berikan untukku dan anak-anak lainnya.
***
Oktober 2013
Tadi sore
seusai rapat tim jurnalistik, gerimis mengiringi tiap langkahku menyusuri
koridor sekolah. Hatiku tak sekelabu awan sore tadi, aku merasa begitu
bersemangat untuk pulang. Itu karena aku berharap kau tengah menunggu
jemputanmu, sehingga aku dan kamu bisa menunggu jemputan bersama, karena ku
tahu saat itu kau tengah latihan bersama tim orchestra.
Langkahku
ku percepat, ketika ku lihat kau tengah berdiri seorang diri beberapa meter di
hadapanku. Namun mendadak langkahku terhenti, rasanya kakiku kaku ketika ku lihat
Kak David tengah menghampirimu dari arah yang berlwanan denganku.
Ku lihat
Kak David mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya, lalu ia mulai
mengusap hidungmu. Bisa ditebak, benda itu adalah sapu tangan atau tisu lalu
dia membersihkan darah yang mengalir dari hidungmu.
Oh, betapa
perhatiannya dia, bahkan semenjak pertama kali aku tahu ada yang tak beres
darimu, aku tak pernah berani untuk mengusap darah yang mengalir dari lubang
hidungmu. Bahkan aku pun tak pernah melihat Agatha, Zahra dan Azizah mebersihkan
darah itu.
Brengsek!
Kalian
layaknya William dan Kate Middleton.
Kau tahu?
Benda kecil dalam diriku yang sering ku sebut hati ini terasa perih. Rasanya
aku terserang penyakit Hepatitis B. Sakit sekali, meski aku tak pernah tahu
bagaimana rasa sakit jika mengidap penyakit itu.
***
Februari 2014
Apakah kau
ingat di sore itu, hari dimana kau memanggil-manggil namaku namun aku tak
menghiraukanmu, hingga akhirnya kau terengah-engah dan membuat cairan merah itu
mengalir dari kedua lubang hidungmu? Lalu aku mendekatimu dan berkata
“Maaf ya,
aku nggak denger. Tadi lagi dengerin musik.”
Tahu kah
kau jika aku berbohong? Sadarkah kau jika aku menghindarimu? Maaf, sore itu aku
harus bersandiwara karena aku tak ingin bersamamu.
Kau harus
tahu, jika aku terus bersamamu, maka aku harus menerima kenyataan bahwa kau dan
Kak David adalah pasangan serasi. Sebuah kenyataan yang dengan terpaksa harus
ku terima.
***
Maret 2014
Agatha
mengatakan padaku bahwa kau mengira aku marah padamu karena aku selalu
menghindar. Lalu ia mengatakan bahwa aku harus menghentikan semua ini.
Jujur, aku
ingin menghentikannya, tiga bulan menjauh darimu rasanya ada yang aneh dalam
hari-hariku.
Sungguh, aku ingin kembali dekat denganmu. Namun keinginan itu
selalu saja hilang bila aku melihat mu dan Kak David pulang bersama, terlebih
dikala hujan turun.
***
Agustus
2014
Hari ini
kau masuk rumah sakit. Aku segera menuju ke sana begitu mendengar kabar itu.
Setibanya di rumah sakit ku lihat Papa, Mama dan Kak Eizel tengah menunggu di
koridor rumah sakit. Di sana juga ada Agatha dan Azizah juga…Kak David.
Brengsek!
Kenapa ia sudah berada di rumah sakit? Kenapa dia tiba lebih dahulu
dibandingkan denganku?
Tidak..tidak, bukan masalah siapa yang datang duluan,
namun masalahnya adalah mengapa aku harus berada di rumah sakit bersamanya?
***
April 2015
Aku senang
kau sudah sadarkan diri dari tidur panjangmu semenjak bulan Agustus tahun lalu.
Ingin rasanya aku menjengukmu, namun ada bisikan yang mengatakan agar aku
membatalkan niatku. Bisikan itu mengatkan bahwa tentu ada Kak David di sisimu,
maka ku urungkan niatku.
Aku tidak
benci Kak David, namun aku hanya tak ingin kalian tahu bahwa aku selalu salah
tingkah jika hadir diantara kalian berdua.
***
Plakkk
Panas!
Sebuah tamparan keras dari Agatha mendarat di pipi kananku. Membuat pipiku
menjadi lebih hangat dari anggota tubuhku yang lain.
“Udah berapa kali gue memohon ke lo supaya lo
dateng buat jenguk dia? Udah berapa kali gue minta ke lo buat muncul di hadapan
dia walau Cuma sepuluh menit aja Stev?” Tanya cewek bermata sipit itu sambil
menatapku lekat. Tatapannya seperti serigala yang sudah dua malam belum makan
yang tengah mengintai seeokor anak kijang yang baru lahir.
Aku diam
sambil mengelus pipiku yang masih terasa panas.
“Sekali aja
Stev, gue mohon banget. Sekali aja muncul di hadapannya. Apa lo nggak pengen
ketemu sama dia?”
Aku masih
diam. Kedua bola mataku menatap ke luar kafe dari balik jendela kaca ini. Di
luar sana, orang-orang berlari kecil mencari tempat berteduh. Mereka yang
mengendarai sepeda bermotor berhenti di bawah pohon untuk mengenakan mantel.
Rintik hujan semakin deras.
“Stev, lo
bisa ketemuan sama dia di suatu tempat yang hanya ada lo dan dia. Nggak ada
orang lain, dan tentunya nggak ada Kak David.”
Aku tetap
diam. Kedua bola mataku masih menatap jalan raya.
“Nggak ada
yang tahu berapa lama lagi dia masih bisa hadir di dalam hari-hari kita. Gue
mohon Stev”
Ku dengar
Agatha mulai terisak.
***
Juli 2015
“Steven..”
Ku dengar suaramu dari arah kiri.
Ku putar
badanku, ku dapati dirimu tengah berdiri di hadapanku sambil tersenyum manis.
Aku
menatapmu dengan datar.
Kau segera
menundukkan wajahmu, lalu menggigit bibir atasmu. Kau tatap tanah. Entah apa
yang kau tatap. Mungkin kakimu, bebatuan atau mungkin kakiku.
“Oh ya, aku
mau ngasih ini ke kamu.” Kau sodorkan sebuah buku padaku.
Mataku
bertanya “ini apa?”
“Itu, hasil
hunting foto kita selama ini. Tiga
minggu yang lalu, aku iseng aja lihat-lihat hasil hunting kita, dan tiba-tiba
aja muncul ide buat nyetak itu dan dijadiin album. “ Jawabmu seolah kau bisa
membaca pertanyaan tak terucap dari kedua bola mataku.
Kedua
bibirku mengerucut. Ku anggukkan kepalaku sambil menatap buku tadi. Sejujurnya
kedua mataku ingin menatapmu, namun hatiku enggan melakukannya.
Ku lihat
kau mengepalkan kedua tanganmu. Kau gigit bibir bawahmu. Kau kernyitkan
keningmu, kedua alismu bertaut.
Aku yakin
pasti kau kesal dengan sikap diamku. Maaf jika sikapku membuatmu kesal, namun
aku benar-benar merasa canggung.
“Ada yang
mau diomongin lagi nggak?” Tanyaku tiba-tiba.
Bodoh! Ya
Tuhan, mengapa aku melontarkan pertanyaan seperti itu padamu? Pertanyaan itu
sama saja dengan kalimat “Udah nggak ada yang mau diomongin lagi kan? Kalau
nggak ad ague mau pergi.”
Kau
menatapku dengan mimic wajah kaget, kau terlihat gelagapan. “E..eng..nggak ada
kok. Udah, cuma mau kasih itu ke Steven.” Ucapmu kikuk.
Kau segera
membuang pandanganmu.
Lima menit
berlalu. Segurat cahaya panjang berbentuk zig-zag tampak di langit pucat,
sedikit menggantikan peran sinar sang mentari untuk menerangi pucatnya langit.
“E..Kamu
pasti banyak acara ya? Maaf ya kalau udah ngebuang waktumu. Aku Cuma mau kasih
itu aja kok.” Ucapmu terbata-bata
Kau
menyingkap beberapa helai rambut yang menutupi wajahmu, menaruhnya di belakang
kuping kananmu.
Ku dengar
napasmu terengah-engah, begitu jelas seperti suara kucing yang sedang tidur.
Mau tak mau, aku terpaksa memandang wajahmu. Ku lihat darah mengalir dari kedua
hidungmu.
Aku tak
memberikan titah pada tangan kananku, tanpa izin dariku tangan kananku segera
membersihkan darah itu. Kau terhenyak, segera menyingkirkan tanganku dengan
lembut.
“Hidung
kamu berdarah Sa.” Ucapku lirih, aku khawatir.
“Eh..nggak
papa kok.” Kau segera membersihkan darah itu.
“Sa, aku
antar ke kamar ya?”
“Eh, nggak
usah. A..Aku ke kamar sendiri aja.” Kau segera membalikkan badanmu sehingga
memunggungiku, namun sesaat kemudian kau kembali membalikkan badanmu, hingga
berhadapan denganku,
“Aku ke
kamar dulu.” Ucapmu lalu menarik napas dalam.
“Maaf, kalau selama ini udah bikin Steven kesel.”
Dadamu
kembang kempis. Aku yang hanya melihatmu merasa tersiksa, bagaiaman denganmu
yang mengalami susahnya bernapas?
“Sa, biar aku antar ke kamar.” Ucapku sambil
meraih pergelangan tanganmu, menghentikan langkahmu.
Kau
menggeleng. Wajahmu sama dengan sore itu, pucat sepeti mayat hidup. Kulit
tanganmu sedingin es batu. Bibirmu kering.
“Aku bisa
sendiri.” Ucapmu nyaris tak terdengar
Kau
berusaha menepis tanganku, namun tak berhasil. Bukan genggamanku yang terlalu
erat, namun tepisanmu ku rasa tanpa kekuatan.
Kau
mengusap hidungmu lagi. Sungguh, aku tak akan membiarkanmu menuju kamar rawatmu
seorang diri.
“Sa, ayo
aku antar ke kamarmu.”
Kau
menggeleng. Dadamu kembang kempis, kau pejamkan kedua matamu. Ada sebuah garis
berwarna lebih tua dari warna kulitmu di kedua pipimu. Kau mengusap garis itu,
membuatnya tampak samar.
“Sa…”
Kau mulai
terisak. Kau pandang aku lekat, aku balas memandangmu lekat. Air bening kembali
mengalir dari kedua matamu.
Aku
menatapmu lembut. Ingin rasanya ku hapus air matamu, namun pergerakan tanganku
tertahan.
Kau
memandangku sayu lalu dengan sekali gerakan kau rangkulkan kedua tanganmu pada
tengkukku. Aku terhenyak, lagi.
Isakanmu
semakin jelas, dicampur dengan suara napasmu yang semakin tak beraturan.
“Kemana aja
selama ini?” Tanyamu sesenggukan.
“Jangan
pergi lagi. Aku minta maaf kalau udah bikin kamu marah.”
Lissa, kau
tahu? Aku tak pernah marah padamu, aku hanya marah pada perasaanku. Mengapa
harus ada sakit yang ku rasa? Ah, aku benci perasaan itu.
“iya, aku
nggak akan pergi lagi.” Ucapku sambil mengusap rambut hitammu dengan lembut.
“ Aku
sayang sama kamu. Jangan pergi.”
“Aku juga sayang kamu. Sayang banget..” Ucapku
lirih, dan…perih.
Gerimis
perlahan turun. Kau masih terisak. Kau tahu? Aku bersyukur hujan mulai turun,
karena tanpa kau sadari aku menangis.
Menangis
karena akhirnya aku bisa mengucapkan kata itu padamu. Menangis karena aku tahu
sayangmu padaku sama dengan rasa sayangmu untuk Adit, Vano, Agatha dan
sahabatmu yang lainnya. Menangis karena aku yakin bahwa memang rasa sayangmu
untukku tak sama denga rasa sayangku untukku, karena saat ini, di hadapanku,
Kak David tengah berdiri sambil membawa payung. Aku yakin kau menyadari
kehadirannya. Dan aku yakin Kak David mendengar kau mengucapkan kata sayang
padaku.
0 komentar: